Ah,,, aku menyerah. Terserah apa yang Bimo inginkan. Aku berjalan menuju kamar mandi. Bukan ke lantai atas seperti yang aku katakan pada mereka tadi. Segera saja aku masuk ke salah 1 toilet wanita & duduk di atas closet. Sambil memejamkan mata, aku mengatur emosiku dengan cara yang sama yang aku lakukan tadi pagi. Menarik napas & menghembuskannya berulang-ulang beberapa kali.
Entah mungkin karena terlalu lama aku memejamkan mata, tiba-tiba ingatanku kembali ke kejadian 3 tahun lalu. Waktu itu aku masih kuliah. Semester 7 ...
_____________________
Perlahan mataku terbuka. Itu nyata & itu pernah terjadi. Salah 1 keputusan yang ak sesali pernah ak lakukan. Menarik nafas ternyata tidak terlalu menenangkanku. Karnanya ak mengambil sebungkus rokok dari saku blazerku & mengeluarkan sebatang untuk kemudian ak sulut dengan korek. 3 hisapan cukup membuatku kembali tenang. Sambil terus menghisap rokok, ak melangkah keluar dari toilet. Suasana sepi. Langsung saja ak jongkok & bersandar pada dinding yang memisahkan pintu kamar mandi wanita & laki-laki.
Beberapa detik kemudian Ibeth muncul. Setelah menyapaku, ia masuk ke dalam toilet.
“Kenapa, Dev? Kok ngisep sambil jongkok gitu. Emang di ruangan nggak bisa?”, tanya Ibeth begitu ia keluar dari toilet.
“Oh, nggak papa. Cuman di ruangan lagi ada klien & sedari pagi ak belum ngisep sama sekali”, jelasku memberi alasan.
“Oh,,,”, balasnya kemudian mencuci tangan di wastafel.
“Beth, mo tanya”, tiba-tiba ak bersuara.
“Tanya apa?”
“Selama ini kamu pernah gak, sibuk nyiapin acara pernikahan. Tapi trus ujung-ujungnya kamu baru sadar kalo mempelai prianya itu mantan kamu. Sedang kamu masih sayang sama dia.. Kira-kira gimana perasaan kamu?”
“Kalo nyiapin pernikahan mantan sih belum pernah. Tapi kalo datang ke nikahan mantan sih pernah. Perasaannya? Em,,, waktu itu ak emang masih sayang sama dia. Kecewa, sakit hati, menyesal, menyalahkan diri sendiri, semua jadi 1. Soalnya yang mutusin hubungan tuh dia. Tapi ya udahlah, semua udah berlalu. Sekarang ak udah dapet gantinya. Hehehe,,,”. Ak ikut tertawa.
“Emang kenapa, Dev? Kamu lagi ngalamin itu sekarang?”
“Ah, nggak. Tanya aja. Kita kan kerja di bidang kayak gini. Ya sapa tau, nggak sengaja mantan kita pake jasa kantor kita buat nyiapin pernikahannya. Kira-kira gimana rasanya. Seneng dapet duit sekaligus sakit ngeliat mantan bahagia. Apalagi kalo kita masih sayang”
“Bener banget, Dev. Yah, mudah-mudahan sih kita nggak ngalamin yang kayak gitu”. Ibeth kembali melihatku dengan seksama.
“Eh, tapi kamu emang nggak papa kan? Maksudku ngisep sambil jongkok, nyandar tembok dengan wajah manyun. Kayak kamu lagi kenapa-kenapa gitu”
“Ah, nggak papa. Cuman lagi capek aja. Tadi malem cuman sempet tidur 5jm”
“Oh, ya udah kalo gitu. Eh,,, ak balik dulu ya”
“Yuk,,, makasi, Beth”
Ak terus menghisap rokokku. Tiba-tiba pintu kamar mandi pria terbuka. Spontan ak melihat ke arah pintu. Oh,,, tidak,,, sejak kapan laki-laki itu ada di dalam sana. Apakah ia mendengar percakapan tadi? Dengan pura-pura tidak peduli, ak memalingkan wajah & kembali menghisap rokok. Dari ekor mataku, ak tau laki-laki itu terus memandangiku. 5, 6, 7, …. 7 detik ia memandangiku. Tiba-tiba ia bertanya.
“Sejak kapan merokok?”. Ak sempat kaget. Tidak menyangka ia bersuara.
“Eh, oh,,, udah ada setaun”, jawabku sekenanya tanpa memberi penjelasan yang lain.
Tanpa sempat ak menghindar, tangannya kemudian menyambar rokokku yang tinggal setengah. Mematikan apinya & membuangnya ke tempat sampah. Kemudian berlalu keluar tanpa mengatakan apa-apa. Begitu cepat hingga ak pun hanya bisa melongo sambil jemariku tetap berposisi menyapit rokok. Hei,,,, apa-apaan ini? Kenapa dia seenaknya sendiri. Tiba-tiba menanyaiku, beberapa detik kemudian mengambil rokokku. Apa maksudnya? Ah,,, ak tak pernah mengerti jalan pikirannya.
Setelah mencuci tangan & mengulum permen mint, ak berjalan kembali ke ruangan. Ak mencoba bersikap biasa seperti baru saja tidak terjadi apa-apa. Ah,,, ternyata Bimo lebih pandai bersikap seperti itu.
“Gimana? Ada perubahan?”, tanyaku pada Danisa.
“Ada sih. Kita pengen yang modelnya kayak gini. Tapi motifnya kayak gini. Trus soal fontnya bisa nggak yang lengkung-lengkung gitu?”, jelas Danisa sambil menunjuk beberapa desain.
“O,,, gitu. Bisa. Oya, ini ada beberapa contoh font. Mungkin ada yang menarik”
“Em,,, kayaknya yang ini cocok deh. Iya kan, Tun?”, tanya Danisa pada Bimo. Tun? Oh,,, pasti panggilan sayangnya. Tuno, Tune, Tunomi, atau,,, ah,,, apalah itu.
Setelah terjadi kesepakatan, kami bercakap-cakap santai. Dari situ ak tau kalo Bimo sekarang bekerja di sebuah perusahaan asing. Mereka sendiri bertemu setelah salah 1 teman Danisa mengenalkannya pada Bimo. Ak berpura-pura tidak terlalu ingin tau dengan hanya mengangguk & sesekali tertawa mendengarkan cerita Danisa. Sedang Bimo hanya sesekali tersenyum. Ah, Bimo,,, kenapa kamu tidak bertanya bagaimana kabarku.
“Dev, kalo gitu ak permisi dulu ya. Mo liat butik yang kamu promosiin itu”, Danisa tersenyum.
“OK. Eh, tapi emang bagus-bagus kok gaunnya. Buat pesta model apa aja ada. Eya, jangan lupa 1 minggu lagi ke sini. Buat liat desain yang baru”
“Pasti. Nanti ak telpon kamu dulu. Ya udah, makasi ya kerjasamanya”, Danisa menyalamiku.
“Sama-sama”. Ak membalasnya. Kemudian menyalami Bimo yang hanya tersenyum.
Setelah mereka keluar dari ruanganku, ak kembali ke tempat duduk kemudian menyalakan komputer. Segera saja ak memilih beberapa lagu untuk menemaniku bekerja hari ini.
I always needed time on my own
I never thought I’d need u there when I cried
And the days feel like years when I’m alone
And the bed where you lie is made up on your side
When you walk away I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now
,,,,
Huh,,, konsentrasi bekerja ternyata obat paling mujarab untuk membuang semua ingatan akan masa lalu, walau sejenak. Menggambar adalah kegemaranku sejak kecil. Jadi bekerja di sini sama saja dengan menyalurkan hobiku. Semua ak lakukan dengan senang hati.
Jam 18.30. Tidak terasa. Ak sudah seharusnya pulang. Bila tidak Ayah akan menelponku terus. Maklumlah hanya ak temannya di rumah selain seorang pembantu. Setelah Ayah & Ibu bercerai, ak ikut Ayah. Sedang saudaraku yang lain tinggal dengan Ibuku di luar kota. Jadi Ayah sangat menjagaku.
Segera sampai rumah, mandi air hangat kemudian makan & ditutup dengan susu coklat hangat sepertinya kegiatan yang menyenangkan setelah ini. Dengan cepat ak keluar dari pintu kantor yang mulai sepi. Kecuali beberapa orang yang sedang lembur. Saat tanganku hendak memasukkan anak kunci pada lubang kunci tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku.
“Deva,,,”. Kucari arah datangnya suara. Ah,,, tidak, kenapa dia?
“Bimo?!?”, jawabku heran.
“Ngapain di sini?”, tanyaku sambil melihat ke belakang laki-laki itu, mungkin ada seseorang yang menyertainya. Tapi ternyata ia sendiri.
“Mau pulang ya?”. Ak tak menjwb, hanya mengerutkan dahi.
“Bisa ngobrol sebentar?”. Setelah berpikir sejenak, ak berjalan ke arah taman & duduk di sana. Untunglah penerangan di sini cukup. Jadi bisa dimanfaatkan sebagai tempat mengobrol di malam hari.
“Kalo soal undangan, tenang aja. Pasti ak selesaikan dengan baik”, kataku kemudian.
“Kamu apa kabarnya?”, tanya Bimo seolah tidak peduli dengan kalimatku. Ak diam, mencoba mengerti akan kemana arah pembicaraannya. Tapi ak menyerah.
“Baik. Em,,, ada maksud apa datang ke sini jam segini?”
“Oom gimana kabarnya?”
“Baik. Kamu dari tadi nungguin di parkiran ya?”
“Selamat ya. Kayaknya karirmu sukses”
“BIMO,,, sebenernya semua ini maksudnya apa sih?”. Setelah terdiam beberapa saat, Bimo menjawab.
“Ak cuman pengen ngobrol sama kamu. Udah lama banget kita nggak kayak gini”. Setelah mendengar kalimatnya, justru ak yang terdiam. Kenangan itu muncul lagi dlm ingatanku.
“Gimana kabarmu?”, tanyaku kemudian.
“Baik”
“Oom, Tante, sama Krisna, gimana juga kabarnya?”
“Semua baik”
“Masih suka ke kampus?”
“Nggak juga. Palingan kalo ada pensi aja”
“Oh,,,”. Ak sibuk berpikir pertanyaan apa lagi yang bisa kuajukan.
“Dev,,, ak tanya boleh?”, tanya Bimo tiba-tiba.
“Boleh”
“Kenapa setelah hari itu, kamu nggak pernah nyapa ak lagi?”. Oh iya, sejak proklamasi putus itu ak memang tidak pernah menyapa Bimo. Sama sekali. Ak mencoba mengingat apa sebab pastinya.
“Sebenernya ak mengabulkan permintaanmu”, jawabku.
“Maksudnya?”
“Bukankah kamu pernah bilang, kalo kamu nggak bisa memulai hubungan dari awal sama mantanmu. Jadi ak mengabulkannya. Ak takut melihat & menerima reaksimu yang akan menganggapku seperti musuh yang pernah menyakitimu. Makanya sejak saat itu ak nggak pernah nyapa kamu”. Bimo diam mendengar penjelasanku.
“Apalagi sehari setelah kejadian itu kamu seperti menganggap ak ini nggak ada. & hari-hari berikutnya kamu kayak menghindar dari ak. Hal itu semakin membenarkan opiniku kalo kamu emang nggak pengen lagi berhubungan sama ak”. Ak melihat ke arah Bimo, sedang Bimo hanya menatap lurus ke depan.
“Em,,, apa pemikiran itu benar? Maksudku kenapa waktu itu kamu seperti menghindari ak?”, tanyaku karena Bimo tidak juga bersuara.
“Ak,,, Ak pikir kamu bener-benar marah sama ak, sampe nggak mau nyapa ak lagi. Aku pikir kamu benci ak, sampe kamu kayak nggak mau kenal sama ak. & mungkin kamu akan terganggu akan kehadiranku. Jadi ak mencoba nggak ada di sekitarmu”
“Oh,,, jadi gitu keadaannya”, kataku tersadar bahwa selama ini telah terjadi miss understanding antara kami.
“Kalo gitu ak minta maap”, sambungku.
“Sama-sama. Ak juga minta maap”, balasnya. Lalu kami terdiam lagi.
“Oy, sebenernya sampe pagi tadi ak masih ngerasa kalo kamu nganggep nggak pernah kenal sama ak”, kataku kemudian.
“Bukannya kamu yang mulai bersikap kayak gitu?”, seloroh Bimo. Ak tersadar kemudian tertawa & Bimo ikut tertawa.
“Btw, selamat ya,,, Bentar lagi kan kamu mau nikah sama Danisa. Danisa itu cewek baik lho. Kamu mesti jagain dia”
“Oya, salamat ya, bandnya tetep jalan”, sambungku. Tapi Bimo hanya tersenyum.
Tiba-tiba,,,
‘Cause we lost it all,,,
Nothing last forever,,,
I’m sorry I can’t be,,,
“Oups,,, bentar ya”. Handphoneku berbunyi. “hOMe SwiT HoMe”. Ya ampun, ak sampai lupa telpon Ayah. Pasti Ayah mencariku.
“Assalamu’alaikum… Masih di kantor, Yah… Iya, bentar lagi pulang kok. Maap ak lupa telpon... Iya, Ayah... Wa’alaikumsalam,,,”. Kemudian ak memasukkan lagi hp ku ke dalam tas.
“Oom ya?”, tanya Bimo.
“He-eh. Eh, kayaknya ak mesti pulang nih. Udah ditungguin Ayah”
“Em,,, gitu y. OK. Makasi udah mau ngobrol, lagi”
“Sama-sama”
“Eya, nomer hp kamu berapa?”
“Tetep kok. Nggak pernah berubah. Ya, kecuali kalo memori hp kamu kehapus semua”. Bimo tersenyum.
“Pulang dulu ya”, pamitku kemudian berjalan menuju mobil.
bersambung ...
No comments:
Post a Comment
setelah baca, jangan lupa kritik dan saran ya,, senang membaca komentarmu :)