Punya perusahaan atau bekerja di bidang desain adalah cita-citaku sejak aku masuk SMA. Karena aku sekolah di SMA kejuruan bidang desain. Setelah masuk perguruan tinggi, keinginanku itu semakin besar. Karena itu aku terus berusaha untuk mewujudkan impianku itu.
Akirnya usaha itu tidak sia-sia. 1 tahun setengah setelah aku lulus kuliah, aku ditawari teman-temanku untuk mendirikan perusahaan gabungan yang bergerak di bidang wedding organizer. Jadi mulai dari desain dan cetak kartu undangan, foto plus video pre-wedding dan wedding, desain sekaligus butik gaun pengantin, salon plus bridal, catering sampai EO disediakan di situ. Karena kompetensiku ada pada desain, maka aku ditawari untuk mengisi posisi desainer undangan. Aku sih senang-senang saja. Karena itu adalah impianku.
Beruntung pemilik utama prusahaan ini termasuk orang penting dan punya banyak relasi, sehingga belum setahun perusahaan ini berdiri, sudah banyak job yang diterima. Dan aku pun smakin menyukai pekerjaan ini. Kesuksesan ini membuatku tidak menyesali beberapa keputusanku ketika aku masih kuliah untuk mencapai impianku. Namun terkadang aku merasa ada 1 kputusan yang membuatku menyesal telah melakukannya.
Pagi yang cerah. Ah,,, setiap pagi memang cerah menurutku. Ternyata benar kata ibuku. Di setiap jalan berliku ada tempat untuk beristirahat & menikmati indahnya hidup. Sambil mendengarkan lagu favorit dari tape mobil, aku terus mengendarai Toyota Corolla milik Ayah yang secara tidak langsung sudah diwariskan kepadaku. Mungkin supaya aku terlihat lebih elegan. Hahaha,,,,,
Dan segala yang tlah ku dapatkan takkan abadi
Dan semua yang tlah aku punya takkan abadi
Menjeratku dalam sesuatu yang semu
Dan langkahku tak akan berhenti sampai di sini
Dan mimpiku takkan pernah usai menggapai asa
Aku berkilau saat mentariku sirna
…..
Pukul 08.45 aku sampai di kantor.
“Mbak, ada tamu. Katanya udah ada janji. Tuh, duduk di depan ruangan mbak”, kata resepsionis kepadaku saat aku menulis presensi.
“Oh ya, makasi. Job baru nih. Dia mo pesen kartu undangan. Mudah-mudahan aja tertarik juga sama gaun-gaun di atas”, seruku sambil tersenyum.
“Ah, Mbak bisa aja kalo promosi”
“Hehehe,,, Ya udah, ak tinggal dlu ya. Oya, tolong bilangin orang pantry buat nganterin minum sama kue ke ruanganku. Air putih juga buat aku. Makasi”
“Iya, Mbak”
Ruanganku yang berada di lantai 1 & tidak jauh dari meja resepsionis membuatku dengan mudah mengenali sosok Danisa yang duduk di dekat pintu. Danisa adalah kenalanku yang berencana memesan kartu undangan pernikahannya. Beberapa hari yang lalu dia sudah mengontakku untuk membuatkan beberapa desain. & hari ini dia memang berjanji untuk datang ke kantorku bersama calon suaminya untuk melihat hasil desainku.
Tapi,,, tunggu sebentar, calon suami??? Berarti laki-laki yang sekarang duduk di sampingnya itu adalah calon suaminya. Oh, tidak,,, laki-laki itu,,, Segera aku menghentikan langkahku. Aku mencoba mengamati dengan seksama laki-laki itu dengan mataku yang tidak sedang berkacamata.
“Calon suami Danisa,,,”, tanpa sengaja bibirku melontarkan kalimat itu beberapa saat setelah jantungku terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Kemudian aku memejamkan mata sambil mengatur nafasku. 3 tarikan & hembusan nafas cukup untuk membuat kerja jantung, aliran darah & kerja otakku kembali berfungsi dengan normal. Kemudian dengan mantap aku berjalan menuju Danisa & calon suaminya duduk. Danisa yang menyadari kedatanganku langsung tersenyum. Tapi tdk dengan laki-laki calon suaminya. Kaget & memandangiku lekat-lekat tampak jelas di wajahnya. Aku mencoba pura-pura tidak menyadarinya. Aku justru mengulurkan tanganku untuk menyalami Danisa.
“Udah lama, Nis? Aku pikir datang jam 9 pas”
“Ah, nggak apa-apa kok. Tadi sebelum ke sini ada urusan. Ternyata cepet selesai. Ya udah, langsung ke sini aja”, jawab Danisa sambil mengulurkan tangannya membalasku.
“Oya, kenalin, pacarku yang mau jadi suamiku”, seru Danisa.
“Deva”, kataku tersenyum sambil tentu saja mengulurkan tanganku.
“Bimo”, balasnya. Ekspresi laki-laki ini sudah tidak seperti tadi. Sekarang ia bersikap seolah-olah belum mengenalku. Sama seperti yang sudah aku lakukan.
“Ya udah, masuk yuk!”, ajakku kemudian membuka pintu ruangan.
“Silakan duduk. Sebentar, aku siapin desainnya”. Kemudian mereka duduk di kursi tamu yang memang aku pisahkan dengan meja kerjaku. Agar lebih santai & nyaman, menurutku.
“Gimana gaunnya? Udah liat-liat di atas?”, kataku memulai pembicaraan.
“Belum sih. Mungkin setelah dari sini”, jawab Danisa.
“Berhubung Danisa pengen desainnya berunsur Jawa & dia lebih suka desain yang minimalis, jadi aku bikin kayak gini”, jelasku pada si calon suami sambil menunjukkan kertas-kertas berisi gambar & laptop yang menampilkan desain telah diwarna.
“Kalo ini yang udah diwarna. Warnanya minimalis juga. Tapi aku bikin elegan biar ada kesan ‘wah’ gitu. Kan kalian berdua ini orang penting. Jadi aku pikir, tamu-tamu kalian nanti juga orang-orang penting”. Penjelasanku lebih aku tunjukan pada calon suami. Karena memang agenda hari ini adalah meminta pertimbangan sang calon suami.
Tok… tok… tok…
Aku menoleh ke arah pintu.
“Ini, Mbak pesenannya”, kata Mas Jupri pegawai pantry.
“Tepat pada waktunya. Makasi, Mas”, seruku sambil tersenyum.
“Sama-sama, Mbak”. Mas Jupri kemudian meletakkan kue & minuman di meja.
“Mari, Mbak”
“Yuk,,,”
“Silakan lho, sambil ngobrol sambil diminum”, tawarku.
“Makasi”
Kemudian mereka berdua terlibat obrolan yang serius. Aku hanya sesekali menjawab bila mereka bertanya. Dari cara mereka berbicara & saling pandang, terlihat sekali bila mereka sudah lama saling mengenal & menyayangi. Hek,,, menyayangi??? Tiba-tiba dadaku sesak.
Bimo seperti tidak terlalu menyukai desainku yang minimalis. Padahal waktu kuliah dulu banyak yang mengakui bahwa karyaku selalu terkesan simple but beautiful. Ah,,, aku terlalu sombong. Kemudian Bimo menjelaskan 1 demi 1 kekurangan pada tiap desainku. Ah,,, tau apa dia soal desain. Padahal aku sudah membuatnya sesempurna mungkin seperti yang Danisa inginkan. Pasti itu hanya akal-akalan Bimo. Pasti ada maksud lain dari sikapnya ini. Aku terus memandanginya dengan tajam. Aku terus berpikir apa maksudnya. Dia seperti tidak menyukaiku dengan tidak menyukai desainku. Tapi Bimo tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Datar. Seperti ia tidak melihat keresahan di wajahku. Ah,,, ia terlalu pandai menyimpan emosiny. Sial,,,
“Oiya, aku lupa. Aku tinggal ke atas dulu ya. Ada urusan. Sebentar kok. Kalian lanjutkan saja ngobrolnya”, kataku kemudian.
Ah,,, aku menyerah. Terserah apa yang Bimo inginkan. Aku berjalan menuju kamar mandi. Bukan ke lantai atas seperti yang aku katakan pada mereka tadi. Segera saja aku masuk ke salah 1 toilet wanita & duduk di atas closet. Sambil memejamkan mata, aku mengatur emosiku dengan cara yang sama yang aku lakukan tadi pagi. Menarik napas & menghembuskannya berulang-ulang beberapa kali.
Entah mungkin karena terlalu lama aku memejamkan mata, tiba-tiba ingatanku kembali ke kejadian 3 tahun lalu. Waktu itu aku masih kuliah. Semester 7.
Siang yang panas. Aku sudah bosan & lelah. Terlalu banyak yang terjadi padaku. Terlalu banyak yang aku pikirkan. Terlalu banyak yang ingin aku dapatkan. Tapi dia seakan tidak peduli. Dia tidak bisa membantuku sedikit pun. Atau mungkin tidak ingin. Dia tidak pernah mengindahkan apa yang aku katakan. Sudah terlalu lelah aku menjadi seorang pacar yang sabar & selalu ada bila pacarku membutuhkanku. Sudah terlalu lelah aku mengingatkannya. Sudah terlalu bosan aku mendengar keluhannya namun ia sendiri tidak mau berubah. Lalu apa lagi yang bisa aku harapkan darinya?
“Aku sudah bosan & lelah. Lebih baik kita mengakhiri smuanya ini”, kataku tiba-tiba. Sebenarnya tidak tiba-tiba. Karena aku sudah memantapkan hatiku untuk mengatakannya sejak 1 minggu yang lalu. Dia terkejut mendengarkannya. Aku yang selalu bisa memaafkannya tiba-tiba mampu berkata seperti itu.
“Jangan! Maksudku kenapa kita harus mengakhiri semuanya. Aku nggak bisa tanpa kamu”. Aku diam.
“Dev,,, maap”, katanya lagi.
“Maapin aku”. Aku tetap terdiam.
“Aku tau, ak udah sering mengucapkannya. Bahkan hampir setiap hari aku minta maap sama kamu. Tapi sekali lagi, Dev, maapin aku”
Aku tetap terdiam. Aku bahkan memalingkan wajahku karena aku tak ingin melihatnya. Melihatnya sama saja dengan memberikan kesempatan pada hatiku untuk memaafkannya lagi.
“Dev,,,”. Dia terus memanggil namaku sambil menggenggam kedua telapak tanganku. Aku tidak ingin berdebat. Aku hanya ingin smuanya ini diakhiri, maka aku hanya diam. Akirnya dia pun ikut terdiam. Aku terus memandang ke arah yang ak sendiri tak tau apa yang sedang aku pandangi.
“Baiklah,,, kalo emang putus bisa bikin kamu bahagia. Aku bisa apalagi selain mengabulkannya. Meskipun aku nggak rela. Kamu tau kan kalo buatku kamu yang terakhir”. Ak hanya diam. Dia menghela nafas panjang.
“OK. Sejak saat ini, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Semuanya berakhir”. Suaranya melemah. Kemudian aku memandangnya.
“Makasi. Akirnya ada 1 permintaanku yang kamu kabulkan”
“Dev, ak cuman pengen bilang. Ak masih sayang kamu & akan terus sayang kamu”. Kemudian dia mencium keningku. Kami berdua terdiam.
“Makasi buat semuanya. Setelah ini terserah kamu nganggep aku apa. & semoga kamu bisa dapet cewek yang bener-bener ngerti kamu. Karena kamu berhak bahagia”. Ak menelan ludah.
“Ak permisi dulu”. Kemudian ak meninggalkannya tanpa ciuman ataupun pelukan perpisahan.
bersambung ...
No comments:
Post a Comment
setelah baca, jangan lupa kritik dan saran ya,, senang membaca komentarmu :)